CINTA
itu tidak abadi. Nah, itulah kabar mutakhir tentang cinta. Kesimpulan yang amat
sangat “berarti” itu berhasil ditemukan oleh seorang antropolog asal AS, Helen
Fischer.
Teori
cinta pernah popular sekitar 5 hingga 6 tahun yang lalu. Tepatnya ketika
pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi popular. Selanjunya
teori ini dikembangkan. Belakangan, ada juga teori cinta dengan pendekatan
bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang
gila misalnya, atau psikofisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku
manusia dan pengaruh hormone pada tubuhnya.
Diane
Lie-seorang psikolog sekaligus peneliti ulet pada sebuah Universitas di Beijing
membeberkan, meskipun urusan cinta bisa dijelaskan secara kimiawi , namun
kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditenukan oleh aktivitas hormone, dan
manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu berarti bila kadar
hormone berkurang, berarti getarannya pun berkurang.
-Diane Lee-
Memang,
pemacu cinta memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara
ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3
tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun, “kebal” terhadap si pemicu
gelora.
Akan
tetapi, sekali lagi masih menuru Diane, proses jatuh cinta tidak semata-mata
hanya dipengaruhi hormone dengan reaksi kimiawinya.
Nah,
kalau main hitung-hitungan, rasanya seru juga. Misalnya, masa pacaran telah
dilalui tiga tahun, berarti kesempatan unuk bisa mempertahankan gelora cinta
hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa
perkawinan menginjak tahun kedua, ketiga, seterusnya? Cuma ada sisa-sisa atau
bahkan punah sama sekali. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa
pacaran lebih dari enam tahun atau lebih?
Menurut
pandangan Diane, dalam hubungan seperti itu, selain cinta ada hubungan lain
yang sifatnya friendship, pertemanan. Kalau setelah beberapa waku cinta itu
menipis-mungkin karena tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinias yang
itu-itu juga , lalu segalanya jadi terasa membosankan.
Kakek-nenek
dapat hidup rukun sampai mereka berusia lanju juga karena senyawa kimia.
Namanya oksitosin. Menurut penelitian, kesetiaan pada pada pasangan berhubungan
dengan kadar oksitosin yang tinggi. Kadar okitosin ini dapat ditingkatkan
dengan cara masing-masing dari pasangan yang berusaha saling menyayangi walau
kadang pasangannya menjengkelkan. Itu
barangkali inti nasihat orang tua, “cinta
tumbuh karena biasa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar